,

Perjalanan Kekuatan Tempur Maritim Indonesia

17.30

Indonesia yang ternyata mempunyai sejarah panjang tentang maritim bukan hanya sekedar dongeng, Indonesia pernah berjaya pada masanya saat jiwa petarung maritim  itu masing melekat erat pada jiwa dan raga bangsa ini. Perjalanan kejayaan beberapa tahun silam ternyata bukan hanya berhenti pada masa Sriwijaya, namun kejayaan itu pernah ada saat awal pertempuran kemerdekaan sampai pertengahan zaman sesudah kemerdekaan.

Perjalanan di mulai saat berdirinya Badan Keamanan Rakyat bagian Laoet (BKR Laoet) di tahun 1945 sampai saat ini di kenal dengan TNI AL. Kapal Perang Republik Indonesia atau KRI merupakan elemen terpenting dalam Alusista (Alat Utama Sistem Senjata). Singkatnya Angkatan Laut belum bisa di katakan sebagai angkatan bersenjata jika belum mempunyai satuan armada kapal perang. Wajar saja kapal perang bukan hanya di fungsikan sebagai alat dalam peperangan melainkan sebagai sebuah simbol kekuatan laut sebuah negara.

Setelah berjalannya proklamasi pada 1945 para pejuang bahari secara serempak langsung mengambil alih berbagai fasilitas laut yang dulunya dikuasai oleh Jepang. Diawali dengan pengambilalihan fasilitas pelabuhan berikut infrastrukrnya. Tentunya pelabuhan sebagai basis pertama yang harus dikuasai karena pelabuhan merupakan pusat dari pada pergerakkan pelayaran laut baik secara militer maupun secara komersial. Pelabuhan berfungsi sebagai sebuah pangkalan yang akan menjadi pusat berbagai kegiatan dan persedian senjata dan amunisi. Hal inilah yang melatar belakangi mengapa pengambilalihan pelabuhan sebagai sebuah gerakkan pertama dalam dilakukan oleh parapejuang bahari saat itu. Kemudian setelah itu penguasaan kapal-kapal perang milik jepang menjadi target sasaran selanjutnya.

Pada tingkatan komando, dibentuklah BKR Poesat ada tanggal 10 september 1945. Sejalan dengan maklumat Pemerintah Nomor 2/X tanggal 5 Oktober 1945 mengenai pembentukan Tentara Keamanan Rakjat (TKR), maka secara sinergis BKR Laoet mentransformasikan dirinya sebagai TKR Laoet dan di tiap pelabuhan di bentuklah pangkalan-pangkalan. Kemudian seiring berjalannya waktu TKR Laoet berubah menjadi TRI Laoet pada januari 1946 dan kemudian 19 Juli 1946 pemerinah meresmikan menjadi Angkatan Laoet Republik Indonesia (ALRI). Nama ALRI dipergunakan sampai tahun 1971 dan berubah menjadi TNI Angkatan laut (TNI AL) sampai saat ini.

Setelah kemerdekaan Armada pertama ALRI dengan segala keterbatasannya berhasil melakukan beberapa ekspedisi lintas laut guna menyebarkan proklamasi Indonesia. Meskipun hanya menggunakanan kapal-kapal sederhana sebagian besar misi yang di emban oleh ALRI tersebut berhasil dilaksanakan dengan sukses. Adapun ekspedisi tersebut dilaksanakan dibeberapa kepulauan indonesia seperti kalimantan, Sulawesi, Bali, Maluku dan Ambon.  Sebuah ekspedisi pada 22 oktober 1945 dengan bermodalkan kapal jenis buru selam rampasan dari Kaigun. S-115 pejuang maritim indonesia dapat melucuti persenjataan marinir Jepang yang berbasis di Pulau Nyamukan.

Dalam upaya meningkatkan kekuatan ALRI akan kapal perang akhirnya beberapa upaya dilakukan oleh pemerintah pada saat itu dengan mendatangkan beberapa kapal perang dari luar negeri. Antaralain beberapa kapal yang di datangkan dari luar negeri adalah RI Gajah mada dengan nomor lambung 408. Kapal kayu jenis coaster (patroli pantai) dibeli dari singapura, kapal  yang dikomandoi oleh Letnan Muda Samadikoen dipersenjatai oleh sepucuk mitaliur 12.7mm eks jepang Type-92, serta sepucuk meriam kecil jenis pompom kaliber 20 mm. RI Gajah Mada tengelam setelah terlibat pertempuran laut dengan kapal perang Belanda jenis pemburu bertorpedo (JT. Joeger Toepedo) Hr.Ms. Kartenaer di Teluk Cirebon 5 Januari 1947.

Dari sekian banyak blokade yang dilakukan oleh ALRI ada satuan unit yang sempat menjadi polemik dan obsesi bagi Belanda yaiu kapal ALRI yang dinamakan Outlaw yang dikomandoi Mayor laut John Lie. Demikian santernya pemberitaan media masa Singapura, Malaysia, dan Thailand atas kiprah John Lie maka kapal Outlaw dijuluki “The Black Speedboat”, karena kemampuannya beroperasi malam hari tanpa penerangan apapun dan tidak pernah tertangkap. Skuadron khusus ALRI ini berhasil memasok sejumlah besar persenjataan dari luar negeri untuk memperkuat pejuang Indonesia. Dari sini kita dapat melihat bahwa sejarah membuktikan Indonesia pernah berjaya dilaut pada masanya, jangankan untuk melakukan sebuah intervensi batas wilayah laut untuk melakukan manuver pun negara tetangga indonesia harus berfikir berkali-kali, karena kekuatan laut indonesia yang disegani pada saat itu.

Setelah perang kemerdekaan (1945-1949) indonesia pun lebih meningkatkan kekuatan laut, hal itu dilakukan sebagai realisasi Konfrensi Meja Bundar. ALRI menerima sejumlah bantuan militer berupa berbagai Alusista  dan perlengkapan militer. Desember 1949 Pangkalan AL Ujung, Surabaya menerima empat kapal perang jenis korvet yang dinamai RI Hang Toeah, RI Pati Oenoes (256), RI Banteng (255), dan RI Radjawali (254). Kemudian ada juga sejumlah kapal perang jenis peronda pantai, kapal pendarat amfibi, kapal motor dan kapal pendarat jenis LCI (Landing Craft Infantry). Kekuatan laut Indonesia kian kuat setelah empat korvet yang dimiliki ditambah dengan kapal perusak eks AL belanda, yaitu RI Gajah Mada dan 10 kapal perang penyapu ranjau kelas Raum baru buatan Jerman Barat antara tahun 1952-1955. Selanjutnya antara tahun 1957-1959 ALRI membeli empat kapal perang barubuatan Ansaldo Leghorn, Italia yaiu RI Soerapati-356 dan RI Imam Bondjol-355 (fregat kelas Almirante Clemente) serta RI Pattimura-801 dan RI Hasanudin-802 (korvet kelas Albatross). Lalu juga diterima lima kaal baru selam kelas Kraljevica buatan Yugoslavia dan lima kapal serupa dari kelas Kronstadt buatan Uni Soviet, serta sejumlah kapal perang lainnya, seperti LST dan tanker. Dengan kekuatan tempur laut yang ada indonesia mampu melakuakan blokade terhadap pemberontak RMS (Repoeblik Maloekoe Selatan) dengan kapal RI Radjawali. Dari sekian pemberontakkan PRRI di Sumatera dan Prasmesta di Sulawesi yang terjadi antara tahun1957-1958. Kondisi ersebut dikarenakan pihak PRRI- Prasemesta mendapatkan bantuan militer dari luar negeri.

Dalam perjalanannya Indonesia pernah menjadi negara terkuat di Asia Tenggara ketika mendapatkan bantuan dari Uni Soviet pada tahun 1959-1966. Saat itu indonesia memiliki 12 Kapal Selam , satu penjelajah ringan kelas Sverdlov (RI Irian 201), delapan fregat Kelas Riga, delapan perusak kelas Skory, 16 kapal penyerangan cepat berpeluru kendali kelas Komar, 14 Kapal cepat torpedo kelas P-6, 16 kapal buru selam kelas Kronstand, enam kapal penyapu ranjau kelas T-43, 18 kapal meriam kelas BK dan beberapa kapal bantu lainnya, seperti kapal kargo, penangkap torpedo (torpedo catcher boat), kapal hidro-oseanografi dan kapal tender kapal selam kelas RI Multatuli-561.

Adapun beberapa kemampuan khusus kapal-kapal yang dimiliki oleh ALRI salah satunya adalah Kapal cepat rudal kelas Komar memiliki kemampuan meluncurkan rudal anti kapal permukaan SS-N-2 Styx. Selain itu ALRI juga menerima delapan kapal cepat torpedo kelas Jaguar dari jerman barat, tiga kapal patroli kelas PGM-39 dan delapan LST eks AL Amerika. Berkat Alusista yang berasal dari Uni Soviet saat itu Indonesia menjai Negara yang memiliki kekuatan Laut terkuat. Hingga mampu berhadapan dengan belanda pada terpempuran Laut Aru walaupun harus melan korban karena Indonesia belum dilengkapi Torpedo. Kekuatan tempur yang besar saat itu mempunyai efek yang luar biasa, ditampah  kehadiran 12 kapal selam memiliki dampak yang significan sebagai sebuah simbol kekuatan tempur laut Indonesia. Alhasil Irian Barat mamapu kembali kepangkuan NKRI.

Seiring berjalannya waktu memasuki tahun 1971 dilakukan perubahan nama dari ALRI menjadi TNI, dan registrasi Kapal perang dari RI menjadi KRI. Sepanjang tahun 1970an diantara Alusista TNI AL di nonaktifkan dengan alasan sudah tidak layak pakai, dari situlah mulai didatangkan Alusista dari Barat. Memasuki paruh 1970an TNI AL menerima enam Kapal Selam jenis penyapu ranjau eks Amerika Serikat, yaitu dari kelas Bluebird. Adapun nama KRI tersebut adalah KRI Pulau Alor-717, KRI Pulau Aruah 718, KRI Pulau Anjer, KRI Pulau Impalasa -720, KRI Pulau Antong -721, KRI Pulau Aru 722.  Sejak tahun 1973 hingga 1990, TNI AL menerima empat kapal perusak  kawal (destroyer escort) eks AL Amerika kelas Cloud Jones dan delapan kapal patroli kelas Attack eks AL Australia. Kemudian antara tahun 1976-1977 indonesia mendapatkan empat kapal dari Australia yaitu KRI Samadar-851, KRI Sasila -852, KRI Sabola-853, KRI Sawangi-854, KRI Sadarin -855, dan KRI Salmaneti-856. Setelah itu indonesia menambah kekuatan laut dengan membeli tiga fregat kelas Fatahillah buatan Belanda, KRI Fatahillah-361, KRI Mahalayati-362 dan KRI Nala-363. Ketiga fregat tersebut dilengkapi rudal anti kapal permukaan generasi terkini buatan Prancis, MM 38 Exocet. Indonesia juga membeli empat kapal patroli berpeluru kendali yang disebut Patrol Ship Killer (kelas Dogger)buatan korea selatan, nama KRI tersebut antara lain KRI Mandau-621, KRI Rencong -622, KRI Badik-623 dan KRI Keris-624 keempat kapal tersebut dilengkapi dengan penyerangan rudal cepat. Kekuatan TNI AL pada saat itu terus berkembang sehingga pada tahun 1981 indonesia kembali memiliki dua kapal selam buatan Jerman Barat kelas 209/1300, kapal tersebut dinamakan KRI Caraka-401 dan KRI Nanggala-402. Kemudian Indonesia membeli bebrapa kapal latih fregat baru buatan Yugoslavia, yaitu KRI Ki Hajar Dewantara-364.

Kekuatan tempur TNI AL dari masa ke masa kian mengalami perkembangan sehingga harga diri bangsa pun kian terangkat. Inilah sistem yang diharapkan akan terus berkembang utuk menjadikan indonesia kian bermartabat. Namun pada tahun 1980-1990 beberapa kapal indonesai pun kian usang, karena termakan umur, pada akhirnya kapal- kapal tersebut hanya menjadi bangkai besi yang siap di museumkan. Harapan besar lahir kembali pada tahun 1992 ketika indonesia membeli 39 kapal perang eks Jerman Timur. Kapal-kapal tersebut terdiri dari 16 korvet kelas Parchim, 14 LST kelas Froch dan 9 penyapu  ranjau kelas Kondor. Jika kita melihat bahwa pengadaan Alusista mengedepankan aspek efisien dan penghematan ternyata dalam hal perawatan dan pemeliharaan justru membutuhkan anggaran yang sangat besar. Bahkan jika dihitung-hitung perawatan dan pemeliharaan jika dihitung-hitung mampu membeli kapal perang terkini. Karena masalah anggaran akhirnya TNI AL menonaktikan beberapa KRI dengan alasan biaya yang terlalu tinggi dalam hal perawatan. Walaupun pada akhirnya angin segarpun datang pada tahun 2000 Indonesia membeli  empat kapal perang jenis korvet  dan membeli tiga kapal angkut pendarat buatan Korea Selatan.

Melihat perjalanan kekuatan tempur indonesia kita dapat melihat bahwa ternyata hampir seluruh Alusista laut merupakan produk luar negeri, beberapa ada yang baru namun lebih banyak pemberian alias bekas. Inilah sebenarnya evaluasi besar bangsa Indonesia ketika hanya mampu menjadi negara penerima bantuan dalam peralatan pertahanan, notabennya pertahanan merupakan sebuah jatidiri dan privasi sebuah bangsa bukan hanya sekedar simbol negara. Mengapa Amerika dan beberapa negara lainnya selalu memamerkan kekuatan tempur negaranya. Sebenarnya Indonesia pernah mencoba untuk menjadi negara mandiri dalam pengadaan Alusista pada tahun 1945-1949 TNI AL pernah melakukan eksperimen kapal selam mini. Namun kerena keterbatasan berbagai hal proyek spektakuler ini bisa dikatakan belum mencapai tingkat maksimal. Perintisan tersebut terjadi kembali ketika era 1965 melaluli semangat “Berdikari” Berdiri di atas kaki sendiri alhasil dari upaya tersebut berhasil melahirkan dua kapal patroli KRI Kalahitam dan KRI Kelabang.

Sebuah kendala besar bagi pengembangana Alusista dalam negri adalah mahalnya dana riset untuk eksperimen Alusista sendiri. Akhirnya untuk menanggulangi hal tersebut TNI AL melakukan alih teknologi dengan Jerman dalam pembuatan kapal perang, dari upaya tersebut akhirnya lahirlah kapal patroli karya anak bangsa yakni PC-36 Kelas Boa (9 Unit)dan kelas Kobra (5 Unit), lalu jenis PC-37 kelas Viper (6 Unit) dan PC-40 kelas Krait semua kapal tersebut di buat seutuhnya dio PT PAL dan Fasharkan. Jika kita melihat perjalanan kekuatan tempur bangsa indonesia dari masa ke masa sebenarnya Indonesia sudah mampu melakukan upaya peningkatan teknologi kelautan. Sebuah karya anak bangsa baru-baru ini adalah KRI Klewang yang mampu kita banggakan. Jangan melihat bagaimana KRI Klewang terbakar namaun lihatlah karya anak bangsa yang sudah mampu berbicara untuk negaranya.

Orientasi bangsa indonesia seharusnya mampu diubah, jika kita melihat bagaimana cara memandang kekuatan bangsa ini, karya anak bangsa bertebaran di berbagai kampus tentang Alusista namun sayangnya itu semua hanya menjadi tumpukkan buka dalam perpustakaan kampus-kampus mereka. Bukan hanya dari segi kelautan bahkan udara dan daratpun sebenarnya sudah saatnya indonesia mamapu mengembangakan Industri pertahanannya sendiri. Upaya tersebut harus senantiasa di dukung oleh berbagai pihak dan berbagai cara untuk menuju Indonesia yang lebih bermartabat di mata negara lain. Pertahanan merupakan sebuah jati diri bangsa indonesia, yang harus dijadikan prioritas kedepannya. Memiliki Alusista yang kuat meruapakan kebutuhan mendesak. Semoga dengan kenaikkan anggaran yang hampir mencapai 80 Trilun dapat memperkuat pertahanan Indonesia.

Jalesveva Jayamahe!!!
Salam Cinta untuk Maritim Indonesia
Sumber:
Angkasa edisi Koleksi Kapal Perang

You Might Also Like

0 komentar

SUBSCRIBE NEWSLETTER

Get an email of every new post! We'll never share your address.

Popular Posts